Deskripsi Materi
Hukum
Pengangkutan
PENGANTAR:
Pengangkutan atau transportasi adalah salah satu bidang
kegiatan ekonomi yang penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini di sebabkan
karena Indonesia secara geografis adalah Negara kesatuan yang sangat luas,
terdiri dari ribuan pulau serta sebagian besar wilayahnya merupakan lautan sehingga kegiatan
pengangkutan harus dilakukan melalui tiga jalur yaitu melalui jalur darat,
melalui jalur laut, dan jalur udara. Selain itu pengangkutan penting di
sebabkan adanya kebutuhan yang dapat menunjang pembangunan di berbagai
bidang, contohnya perhubungan perdagangan. Untuk memperlancar arus barang dan
jasa, priwisata, dan bidang usaha lainnya.
Dalam bidang usaha, pengangkutan menjadi suatu sarana
akomodasi yang turut serta menggerakan roda kegiatan usaha. Sehingga
keberadaannya sama penting dengan kualitas dari suatu produk yang di buat.
Sebagai contoh, Keterlambatan pesanan bagi pelanggan dapat mencederai
kepercayaan bahkan merugikan pelaku usaha. Suatu pesanan yang datang
terlambat bisa jadi di kenakan denda, ditolak, bahkan dapat di ajukan gugatan
manakala keterlambatannya telah menimbulkan kerugian bagi si pemesan.Belum
lagi jika ternyata setelah dilakukan pengangkutan mengakibatkan pesanan rusak
dan lain sebagainya.
Dalam kegiatan usaha, suatu aktifitas pengangkutan (
antar muat/ bongkar muat) harus dilakukan secara professional dan terbuka.
Sehingga kegiatan pengangkutan dapat di pertanggung jawabkan oleh masing
masing pihak yaitu pemilik barang dan pengangkut barang. Kegiatan antar muat
hendaknya di lakukan berdasarkan suatu kesepakatan para pihak yang di
tuangkan dalam suatu perjanjian yang berlandaskan hukum. Perjanjian tersebut
hendaknya bersifat transparan sehingga masing- masing pihak memahami hak dan
kewajibannya masing-masing.
|
DESKRIPSI
MATERI: HUKUM PENGANGKUTAN
5.1
PENGERTIAN PENGANGKUTAN
Pengangkutan
adalah proses kegiatan memuat barang dan atau penumpang kedalam alat
pengangkutan, membawa barang atau penumpang ketempat tujuan, dan menurunkan
barang atau penumpang di tempat tujuan
yang di tentukan. Dari definisi tersebut dapat diketahui beberapa factor
pengangkutan sebagai berikut:
1. Pelaku, yaitu orang yang melakukan pengangkutan. Ada yang
berupa badan usaha, seperti perusahaan pengangkutan, dan ada pula yang bukan
badan usaha.
2. Alat pengangkutan, yaitu alat yang digunakan sebagai saran
untuk menyelenggarakan pengangkutan. Alat tersebut digerakan dengan dengan
secara mekanik serta memenuhi syrat yang ditentukan oleh Undang-undang.
3. Barang atau penumpang, yaitu muatan yang diangkut. Barang
muatan yang diangkut adalah barang perdagangan yang sah menurut Undang-undang.
4. Perbuatan, yaitu kegiatan mengangkut barang atau penumpang
sejak pemuatan sampai dengan penurunan ditempat tujuan yang telah ditentukan.
5. Fungsi pengangkutan yaitu meningkatkan kegunaan dan nilai
barang atau penumpang. Barang yang tiba tepat waktu tentu dan terjaga
kualitasnya akan memiliki nilai ekonomi lebih baik dan penumpang tiba tepat
waktu dengan selamat akan meningkatkan produktifitas dan efektifitas kerja (
tenaga kerja).
6. Tujuan Pengangkutan, yaitu sampai atau tiba ditempat
tujuan yang ditentukan dengan selamat dan dilunasinya biaya pengangkutan.
Dalam penyelenggaraan
pengangkutan terdapat beberapa tahapan kegiatan-kegiatan yang terkait, yaitu:
1. Tahap persiapan pengangkutan, meliputi penyediaan alat
pengangkutan dan penyerahan barang atau naiknya penumpang yang akan diangkut.
Pada tahapan ini tanggung jawab terhadap barang atau orang yang akan di
angkut biasanya belum menjadi tanggung jawab pengangkut. Keamanan barang atau
orang yang akan diangkut menjadi tanggung jawab pengelola tempat persiapan pengangkutan
seperti Otoritas Pelabuhan, Bandara, Terminal dan sebagainya. Setelah barang
atau orang telah berada di atas sarana pengngkutan maka pengangkut
bertanggung jawab terhadap muatannya.
2. Tahap penyelenggaraan pengangkutan, meliputi kegiatan
pemindahan barang atau penumpang dengan alat pengangkutan dari tempat
berangkat sampai tujuan yang disepakati. Keselamatan barang maupun penumpang
mutlak menjadi tanggung jawab pengangkut.
3. Tahap penyerahan barang pada penerima atau turunnya
penumpang serta pembayaran biaya pengangkutan. Barang atau penumpang yang
tiba/ diserahkan pada tempat tujuan harus sesuai dan dalam keadaan baik.
4. Tahap penyelesaian persoalan yang timbul atau terjadi selama pengangkutan atau akibat
pengangkutan. Apa
bila dalam penyerahan terdapat hal yang
merugikan penerima maka harus dilakukan upaya penyelesaian terlebih
dahulu sehingga kegiatan pengangkutan tidak secara otomatis berakhir.
Dalam
prakteknya, kegiatan pengangkutan ini dilakukan melalui perjanjian antara
pihak pengirim barang atau penumpang dengan pelaku pengangkutan. Bentuk
perjanjian dapat berupa surat perjanjian atau tiket penumpang. Biasanya
perjanjian berbentuk baku dalam format tertentu dan telah disiapkan oleh
salah satu pihak.
|
5,2
ASAS-ASAS PERJANJIAN DAN DASAR HUKUM KEGIATAN PENGANGKUTAN
ASAS-ASAS
PERJANJIAN PENGANGKUTAN
Secara umum perjanjian
diatur dalam dalam pasal 1313 KUHPdt yang berbunyi ” Perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan satu pihak atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang
atau lebih”. Maka perjanjian adalah suatu perbuatan antara dua orang atau lebih yang secara sadar
mengikatkan diri dalam suatu bentuk perjanjian yang didasari kesepakatan guna
tujuan tertentu.
Perjanjian pengangkutan adalah
perjanjian timbal balik dengan mana pengangkut mengikatkan diri untuk
menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau orang, dari suatu tempat
ketempat tujuan tertentu dengan selamat. Sedangkan pengirim atau penumpang
mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan.
Adapun
subyek hukum dalam perjanjian pengangkutan
terdiri dari:
1. Pihak-pihak
yang secara langsung terikat dalam perjanjian, yaitu pengangkut, pengirim
barang atau penumpang.
2. Pihak-pihak
yang secara tidak langsung terikat dalam perjanjian yaitu ekspeditur, biro
perjalanan, dan penerima barang.
Secara umum bentuk perjanjian
pengangkutan tetap bersandar pada Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur tentang
syarat sahnya suatu perjanjiian. Pada umumnya dalam perjanjian pengangkutan
disepakati hal-hal sebagai berikut:
1. Obyek perjanjian
pengangkutan, yaitu apa yang diangkut (muatan barang atau penumpang), biaya
pengangkutan yang timbul selama dan sebagai akibat pengangkutan; alat
angkutan yang digunakan; dalam hal ini hal-hal tersebut harus termuat secara
jelas dan terperinci untuk menghindari bila terjadi perselisihan dikemudian
hari. seperti jenis alat angkut harus di tuangkan apa jenis alat angkutnya,
kemampuan angkut/ muatnya dan sebagainya .Alat angkut yang tertuang dalam
perjanjian harus betul-betul sesuai yang di gunakan dalam pengangkutan...
2. Tujuan pengangkutan,
sampai atau tibanya barang atau penumpang yang diangkut pada tempat tujuan
dengan selamat: lunasnya pembayaran biaya pengangkutan; kesesuan barang yang
diantar, kondisi barang, serta waktu tiba di tujuan harus termuat dalam
perjanjian demikian pula dengan tata cara elunasan pembayaran. .
3. Syarat-syarat perjanjian,
berkaitan dengan bagaimana tujuan bisa dicapai melalui perjanjian tersebut.Hendaknya
melakukan perjanjian dilandasi dengan landasan hukum tentang syarat-syarat
membuat perjanjian yang baku sehingga bentuk perjanjian memiliki alur yang benar dan dapat di peranggung
jawabkan.
Dalam perjanjian pengangkutan berlaku
asas-asas sebagai berikut:
1. Asas
Konsensualisme,
Sebagaimana Perjanjian
pada umumnya, perjanjian pengangkutan bersifat kosensualisme dalam arti tidak
ditentukan bentuk tertentu ( perjanjian pegangkutan dapat di buat secara
lisan dan tertulis).
Asas konsensualisme
mengandung arti bahwa tiap-tiap perjanjian yang dibuat tyelah terjadi sejak
adanya kesepakatan (consensus) dari para pihak yaitu pihakpengirim dan
pengangkut.
2. Asas
Koordinasi
Asas ini
mensyaratkan adanya kedudukan yang sejajar antara para pihak dalam perjanjian
pengangkutan. Meskipun perjanjian pengangkutan merupakan “pelayanan Jasa”,
namun tidak berlaku hubungsn subordinasi sebagaimana dalam perjanjian
perburuhan. Pihak pengangkut bukan buruh dari pengirim barang atau penumpang.
3. Asas
Perjanjian Campuran
Perjanjian
pengangkutan merupakan bentuk campuran antara:
a. Perjanjian
pemberian kuasa dari pengirim barang pada pengangkut.
b. Perjanjian
penyimpanan barang dari pengirim barang pada pengangkut.
c. Perjanjian
melakukan pekerjaan pengangkutan barang yang diberikan pengirim kepada
pengangkut..
4. Asas
tidak ada hak retensi ( hak menahan barang milik klien apa bila biaya belum terselesaikan).
Hak retensi
adalah hak untuk menahan sesuaatu barang milik klien yang dalam hal ini
adalah Pengirim apa bila kewajibannya belum dipenuhi. Dalam perjanjian
pengangkutan tidak ada hak retensi karena karena penggunaan hak retensi itu
bertentangan dengan fungsi dan tujuan perjanjian pengangkutan yaitu:
Pengangkutan
berfungsi untuk meningkatkan kegunaan barang (nilai barang atau penumpang)
dan bertujuan untuk mengangkut dan menyerahkan barang pada penerima.
Oleh karena
tidak adanya hak retensi dalam dalam perjanjian pengangkutan maka pengangkut
maupun pengirim harus memperhitungkan resiko yang akan timbul di kemudian
hari agar para pihak mendapatkan haknya.
DASAR
HUKUM KEGIATAN PENGANGKUTAN
Ketentuan
Perundang-undangan yang mengatur perjanjian pengangkutan terdiri dari dua
macam yaitu:
1. Peraturan yang bersifat keperdataan ( bersangkutan dengan
hak dan kewajiban para pihak). Bersifat keperdataan karena kegiatan
pengangkutan sejatinya adalah upaya antar pribadi-pribadi yang melakukan kesepakatan untuk terjadinya
kegiatan tersebut.
2. Bersifat administratif ( yang bersangkutan dengan
kepentingan umum). Dalam praktiknya pengangkutan sering bersentuhan dengan
kepentingan umum sehingga melibatkan pengawasan dari pemerintah.
Pengangkutan yang diselenggarakan
di Indonesia meliputi tiga jenis pengangkutan, sebagai berikut:
1.
PENGANGKUTAN DARAT
Pengaturan
tentang pengangkutan darat terdapat dalam:
a. KUHD Buku I, Bab V, bagian 2 dan 3 dari pasal 90 s/d 98 tentang pengangkutan darat secara umm.
b. Undang-undang yang merupakan ketentuan bersifat Lex
spcialis:
1) Undang-undang Nomor 13
Tahun 1992 tentang Perkereta-apian,
menggantikan ordonansi S 1927 No.262 tentang pengangkutan dengan kereta api.
( Bepalingen betreffende het vervoer
over spoorwegen)
2) Undang-undang Nomor 23
Tahun 2007 tentang Perkeretaapian menggantikan
undang-undang Nomor 13x tahun 1992
3) Undang-undang Nomor 14
Tahun 1992 tentang lalu lintas
Angkutan jalan , juncto Perpu No.1
Tahun 1992 tentang penangguhan mulai berlakunya UU No. 14 Tahun 1992, dan UU
No. 22 Tahun 1992 tentang penetapan Perpu No.1 Tahun 1992 menjadi
Undang-undang. ( UU No.14 Tahun 1992 ini menggantikan UU No. 3 Tahun 1965
Tentang lalu lintas Jalan Raya).
4) Undang-undang Nomor 22
tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan, merupakan kelanjutan dari undang-undang nomor 14 tahun1992
yang merupakan pengembaqngan signifikan yang dapat dilihat pada jumlah
vclausul yang di atur yaitu yang semula terdiri dari 16 bab dan 74 pasal
dalam undang –undang ini menjadi 22 bab dan 326 pasal. Dalam undang-undang
sebelumnya menyebutkan bahwa untuk mencapai tujuan pembangunan nasional
sebagai pengamalan ancasila, transportasi memiliki posisi yang penting dan
strategis dalam pembangunan bangsa yang berwawasan lingkungan dan hal ini
harus tercermin pada kebutuhan mobilitas seluruh sektor dan wilayah.
Trasportasi meruakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam
memperlancar roda perekonomian, memperkukuh persatuan dan kesatuan serta mempengaruhi semua aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara. Berbeda dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009,
Bahwa Lalu lintas dan pengangkutan jalan mempunyai peran strategis dalam
mendukung pembangunan dan integrasi nasional bagian dari upaya memajukan
kesejahteraan umum.
2.
PENGANGKUTAN LAUT
Pengaturan
tentang pengangkutan laut terdapat dalam :
a. KUHD buku II, Bab V tentang chapter kapal; Bab VA tentang pengangkutan barang
dan Bab VB tentang pengangkutan penumpang.
b. UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, menggantikan Ordonansi antara lain : Scheepen
Ordonantie , S 1935 No. 55 tentang Ordonansi Kapal
Laut.
Pengangkutan laut lazimnya dilakukan dengan beberapa cara,
yaitu:
a. Free On Board
(FOB), yaitu pengirim melakukan penyerahan barang melewati pagar kapal pada
pelabuhan pengapalan (muat). Hal ini berarti penerima (pembeli) bertanggung
jawab penuh atas seluruh biaya dan resiko atas kehilangan atau kerusakan
barang dari mulai dari titik tersebut. Syarat FOB menuntut pengirim untuk
mengurus formalitas ekspor. Syarat tersebut hanya berlaku bagi angkutan laut
dan sungai saja.
b. Free Along Ship (
FAS), yaitu penjual melakukan penyerahan barang bila barang diletakan
disamping kapal pelabuhjan pengapalan yang di sebut. Hal ini berarti bahwa
penerima (pembeli) wajib memikul semua biaya dan resiko kerusakan maupun
kehilangan atas barabg-barabg sejak saat itu. Syarat Free Along Ship menuntut
pengirim (penjual) mengurus formalitas ekspor. Maka harus ditegaskan dengan
cara menambahkan kata yang tegas dalam kontrak jual beli.
c. Cost and Insurance (CIS),
yaitu berarti bahwa penjual melakukan penyerahan barang bila barang tersebut
melewati pagar kapal di pelabuhan pengapalan. Pengirim wajib membayar semua
biaya dan ongkos untuk mengangkut barang-barang itu sampai pada tjuan
yang di tunjuk, namun resiko atas
kerusakan dan kehilangan barang-barang termasuk setiap biaya tambahan
sehubungan dengan sehubungan dengan peristiwa yang terjadi pasca serah
terimas dengan penerima (pembeli). Namun dalam syarat cost and insurance
penjual wajib pula mengasurasikan dengan syarat minimum. Sekiranya
menginginkan perlindungan yang lebih besar, maka pembeli (penerima) perlu
mengadakan persetujuan dengan penjual secra tegas atau pembeli sendiri yang
mengurus asuransi tambahan.
3.
PENGANGKUTAN UDARA
Peraturan
tentang Pengangkutan udara tidak terdapat
dalam KUHD, tetapi diatur secara khusus diluar KUHD yaitu:
a. Undang-undang Nomor 15
Tahun 1992 Tentang Penerbangan,
menggantikan UU No. 83 Tahun 1958 Tentang Penerbangan. Undang- undang ini
bersifat publik Administratif (bukan keperdataan) karena menyangkut
norma-norma pengawasan pemerintah.
b. Undang-undang Nomor 1
Tahun 2009 tentang Penerbangan, menggantikan
undang-undang nomor 15 tahiun 1992.
c. Ordonansi Pengangkutan
Udara (OPU), Stb. 1939 No.100 (
Luchtvervoer Ordonatie). Sepanjang tidak bertentangan dengan UU No. 15 Tahun
1992 OPU ini masih berlaku.
Ordonansi Pengangkutan
Udara di Undangkan setelah Belanda meratifikasi konvensi Warsawa ada tahun
1929, yaitu Konvensi untuk Unifikasi dari ketentuan-ketentuan sehubungan
dengan angkutan Udara Internasional. Pada intinya OPU ini mengatur tentang
dokumen pengangkutan dan tanggung jawab pengangkut Dalam hukum Bisnis, setiap
pelaku usaha tidak di benarkan melakukan kegiatan-kegiatan usaha yang
menimbulkan kerugian bagi pelaku usaha lainnya. baik kapasitasnya sebagai
Pedagang atau penjual maupun sebagai pembeli atau pengguna jasa. Oleh
karenanya dibutuhkan suatu regulasi yang mengatur tentang kegiatan tersebut
agar supaya dapat di ketahui batasan-batasan yang mengatur tentang hak dan
kewajiban para pelaku usaha. Diantaranya adalah aturan hukum tentang jual
beli, perlindungan konsumen, kewajiban produsen dll.
Pada
tanggal 17 Desember 2008 rapat paripurna DPR-RI telah mensahkan yang ditanda
tangani pada tanggal 12 Januari 2009, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
penerbangan yang meliputi kebijakan baru transportasi udara yang berkenaan
dengan modal perusahaan penerbangan ( airline
capital), komposisi saham (shares com;potition), kepemilikan pesawat
udara (aircraft ownesship), Jaminan
bank (bank guarantee), sumber daya
manusia (resource person),
kebijakan tariff penumpang (passenger
tariff policy) pesawat udara baik yang ekonomi maupun non-ekonomi, tariff
kebandar-udaraan, danpenegakan hukum. Undang-undang tersebut sangat mendukung
terhadap pertumbuhan transportasi udara karena sebagai dasar hukum
transportasi udara yang komprehensif. Undang-undang Nomor 1 2009 tentang
penerbanngan merupakan pula tindak lanjut dari banyak temuan Organisasai
Penerbangan Siil Internasional (ICAO)
beberapa waktu yang lalu. Secara filosofis undang-undang ini memisahkan
regulator dengan Operator sehingga memiliki tugas dan tanggung jawab yang
jelas tidak tumpang tindih dan transparan. Secara historis di bidang
transportasi udara, pemikiran tentang pemisahan peran regulator dengan
operator telah timbul pada tahun 1991, sat Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992
tentang penerbangan disiapkan. Secara umum undang-undang ini mengalami
perubahan signifikan dengan Undang-undang sebelumnya.
|
5.3
TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT DAN DOKUMEN-DOKUMEN PENGANGKUTAN
TANGGUNG
JAWAB PENGANGKUT
Perjanjian
pengangkutan bersifat timbal balik yang artinya masing-masing pihak
mengikatkan diri dan memiliki hak dan tanggung jawab. Pada dasarnya kewajiban
dan hak para pihak dalam pengangkutan dapat diketahui pada penyelenggaraan
pengangkutan atau berdasarkan dokumen pengangkutan. Kewajiban pengangkut
adalah menyelenggarakan pengangkutan dari suatu tempat ketempat lain yang
telah ditentukan dengan selamat, sedangkan kewajiban pengirim atau penumpang
adalah membayar biaya pengangkutan.
Dalam
pengertian “ menyelenggarakan pengangkutan “ dapat disimpulkan bahwa
pengangkutan dilakukan sendiri oleh pengangkut atau dilakukan oleh orang lain
atas perintahnya. Istilah : dengan selamat” mengandung arti bahwa apa bila pengangkutan
berjalan “ tidak selamat “hal tersebut menjadi tanggung jawab pengangkut.
Keadaan Tidak selamat mempunyai dua arti, yaitu:
1. Pada pengangkutan barang,, barangnya tidak ada. Lenyap
atau musnah atau barangnya ada akan tetapi rusak sebagian atau seluruhnya
disebabkan oleh berbagai kemungkinan peritiwa.
2. Pada pengangkutan penumpang, penumpang meninggal dunia
atau luka/ cacat sementara atau tetap, atau karena suatu peristiwa atau
kejadian.
Dalam
hal pengangkut tidak menyelenggarakan pengangkutan sebagaimana mestinya ia
harus “bertanggungjawab”, artinya harus memikul semua akibat yang timbul dari
perbuatan penyelenggaraan pengangkutan. Karena kesengajaan atau kelalaian
pengangkut. Maka konsep tanggung jawab ( liability)
itu timbul karena pengangkut dalam memenuhi kewajiban tidak sebagaimana
mestinya.Tidak jujur atau tidak baik, atau sama sekali tidak memenuhi
kewajiban tersebut.
Tetapi dalam perjanjian pengangkutan ada
beberapa hal yang bukan menjadi tanggung jawab pengangkut. Artinya apabila
timbul kerugian pengangkut dapat terbebas dari kewajiban membayar ganti
kerugian. Beberapa hal tersebut adalah:
1. Dikarenakan adanya keadaan yang memaksa (overmacht).
2. Cacat pada barang atau penumpang sendiri.
3. Kesalahan atau kelalaian pengirim atau penumpang sendiri.
Terdapat beberapa prinsip
yang dikenal dalam pengangkutan:
1.
Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan ( fault liability)
Pengangkut
yang melakukan kesalahan dalam penyelenggaraan pengangkutan harus bertanggung
jawab membayar ganti kerugian (mengganti semua kerugian yang timbul karena
kesalahannya), dalam hal ini beban pembuktian ada pada pihak yang menderita
kerugian. Beban pembuktiannya (onus of
proof) terdapat pada pihak yang dirugikan (pengirim) bukan pengangkut.
Prinsip ini berlaku umum seperti yang diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata
tentang perbuatan melawan hukum.
2.
Prinsip tanggung jawab berdasar praduga ( presumption of liability)
Pengangkut
dianggap selalu bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dari
pengangkutan yang diselenggarakannya. Korban tidak harus membuktikan adanya
unsure kesalahan apapun pada pihak pengangkut untuk menuntut pembayaran
santunan atas kerugian yang di deritanya. Korban cukup menunjukan kerugian yang
diderita selama pengangkutan. Beban pembuktian tedapat pada pengangkut bukan
pada pihak yang dirugikan (pengirim). Pihak yang dirugikan cukup menunjukan
tentang adanya kerugian yang diderita dalam pengangkutan yang diselenggarakan
oleh pengangkut (loss or demage during
transit).
Dalam
hal pengangkut dapat membuktikan bahwa “ia tidak bersalah” maka ia dibebaskan
dari kewajiban membayar ganti kerugian, yaitu apabila pengangkut dapat
membuktikan bahwa :
a. Kerugian yang terjadi bukan di akibatkan kesalahan pengangkut.
b. Pengangkut telah mengambil tindakan yang diperlukan untuk
menghindari kerugian tersebut.
c. Peristiwa yang menimbulkan kerugian tersebut tidak mungkin
untuk di hindari.
3.
Prinsip tanggung jawab mutlak (absolute liability)
Pengangkut
harus bertanggung jawab membayar ganti kerugian atas setiap kerugian yang
timbul dari pengangkutan yang di selenggarakan, tanpa pembuktian ada tidaknya
kesalahan pengangkut. (pengangkut tidak dapat membebaskan diri dari tanggung
jawabnya dengan alasan apapun).
Dari
ketiga jenis prinsip tanggung jawab pengangkut tersebut, pada umumnya dalam
pengangkutan di Indonesia baik darat, laut, dan udara di anut prinsip tanggung jawab berdasarkan
praduga ( presumption of liability).
Hal tersebut dapat dilihat dari asal-pasal sebagai berikut:
Pasal468 (2) KUHD
“
Si pengangkut di wajibkan mengganti segala kerugian yang disebabkan karena
barang tersebut sebagian atau seluruhnya, atau karena terjadi kerusakan tadi
disebabkan oleh suatu malapetaka yang selayaknya tidak dapat dicegah maupun
dihindarkannya, atau cacat dari pada barang tersebut, atau oleh kesalahan
dari si yang mengirimnya”.
Pasal 477 KUHD
“
Si pengangkut adalah bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkankarena
terlambat diserahkannya barang yang diangkutnya, kecuali apabila
dibuktikannya bahwa keterlambatan itu disebabkan oleh suatu malapetaka yang
selayaknya tidak dapat dicegah atau dihindarkannya”.
Pasal
522 (2) KUHD
“
Si pengangkut diwajibkan mengganti kerugian yang disebabkan karena terlambat
diserahkannya karena luka, yang didapat oleh sipenumpang oleh pengangkutan
itu, kecuali apabila dibuktikannya bahwa luka itu disebabkan oleh suatu
kejadian yang selayaknya tidak dapat dicegahmaupun dihindarkannya, ataupun
karena salahnya si penumpang sendiri.
Peraturan pemerintah Nomor 20Tahun
2010 tentang angkutan di perairan (pasal 181 (7))
“
Jika terdapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b, huruf c, dan huruf d bukan disebkan oleh kesalahannya, perusahaan
pengangkutan perairandapat dibebaskan sebagian atauseluruh tanggung
jawabnya”.
Secara
khusus prinsip tanggung jawab pengangkut dapat di temukan dalam ketentuan hukum
sebagai berikut:
1.
Pengangkutan darat:
Prinsip
tanggung jawab pengangkut pada pengangkutan darat diatur antara lain dalam
pasal 28, 29, dan 44 UU No. 14 Tahun 1992.
Pasal 28
Pengemudi
kendaraan bermotor bertanggung jawab atas kerugian yang diderita pemilik
barang atau penumpang atau pihak ketiga karena kelalaian atau kesalahan
pengemudi.
Pasal 29
Tanggung
jawab sebagaimanan dinyatakan dalam pasal28 tersebut tidak berlaku dalam hal
terdapat keadaan memaksa yang tidak dapat di elakan; atau karena perilaku
korban sendiri atau karena gerakan orang atau hewan sendiri meskipun telah
dilakukan pencegahan.
Pasal 44
Pengusaha
angkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita penumpang,
pengirim barang, atau pihak ketiga karena kelalaiannya dalam melaksanakan
pelayanan angkutan.
Selanjutnya hukum yang
mengatur tentang tanggung jawab pengangkutan darat diatur dalam Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2007 tentang perkerata-apian dan Undnag-undang Nomor 12 Tahun
2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan.
2.
Pengangkutan laut:
Prinsip
tanggung jawab pengangkut dalam pengangkutan laut antara lain di atur dalam
pasal 26 UU No. 21 Tahun 1992.
Pasal 26
Perusahaan
pengangkutan laut bertanggung jawab akibat pengoperasian kapal, berupa
kematian atau luka-lukanya penumpang yang ia angkut; musnah, hilang atau
rusaknya barang yang di angkut; keterlambatan pengangkutan; atau kerugian pihak
ketiga. Dalam hal Pengangkut dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan
karena kesalahannya maka ia di bebaskan dari sebagian atau seluruh tanggung
jawabnya.
Pengangkutan laut/air selanjutnya diaturdalam
Undang-undang Nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran.
3.
Pengangkutan udara:
Prinsip
tanggung jawab pengankut udara di atur dalam pasal 43 dan 44 UU No.15 Tahun
1992.
Pasal 43
Perusahaan
pengankutan udara yang melakukan kegiatan angkutan udara bertanggung jawab
atas mati atau lukanya penumpang; musnah atau hilangnya barang; dan
keterlambatan pengangkutan, apabila terbukti bahwa hal tersebut merupakan
kesalahan pengangkut.
Pasal 44
Tiap
orang atau badan hokum yang mengoperasikan pesawat udara bertanggung jawab
terhadap kerugian yang diderita pihak ketiga, yang di akibatkan pengoperasian
pesawat udara atau kecelakaan pesawat udara atau jatuhnya benda-benda lain
dari pesawat udara yang di operasikan.
Dalam
pengangkutan udara terdapat dua system pertanggung jawaban yaitu:
a. Pertanggung jawaban pengangkut pada pengangkutan penumpang
dan bagasi tercatat (registered
baggage) serta pengangkutan barang.
Menutrut
OPU 1933, yang di maksud bagasi ( checked baggage) adalah semua
kepunyaan atau di bawah kekuasaan seorang penumpang, yang olehnya atau atas
namanya, sebelum ia menumpang pesawat udara, diminta untuk di angkut melalui
udara.
Terhadap
pengangkutan penumpang, bagasi tercatat dan pengangkutan barang berlaku dua
system tanggung jawab, yaitu:
1)
Prinsip tangung jawab berdasarkan praduga (presumption of liability)
Atas kerugian yang terjadi, pengangkut dianggap selalu
bertanggung jawab, kecuali pengankut dapat membuktikan bahwa pengangkut tidak
bersalah.
2)
Prinsip tanggung jawab terbatas (limitation of liability)
Pengangkut bertanggung jawab terbatas sampai limit tertentu,
kecuali ada kesengajaan atau kesalahan berat pada pengangkut, berlaku unlimited liability.
b.
System pertanggung
jawaban pengangkut yang berlaku untuk bagasi
tangan (hand baggage).
Bagasi
Tangan adalah benda-benda kecil untuk penggunaan pribadi yang ada
pada atau dibawa oleh penumpang sendiri.
Prinsip tanggung jawab yang berlaku terhadap bagasi tangan
ini pengangkut selalu dianggap tidak bertanggung jawab (presumption of non liability),
namun apabila terbukti ada kelalaian dari pengangkut maka pengangkut
bertanggung jawab secara terbatas (limitation liability).
Selanjutnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 mengatur pula
tanggung jawab pengangkutan udara.
DOKUMEN-DOKUMEN
PENGANGKUTAN
Dokumen pengangkutan berfungsi sebagai bukti adanya
perjanjian pengangkutan antara pengangkut dan pengirim barang atau penumpang.
Pada umumnya dokumen pengangkutan memuat syarat-syarat perjanjian (condition of contract).
Dalam undang-undang
diatur dua macam dokumen pengangkutan, yaitu:
1. Tiket penumpang (untuk pengangkutan penumpang).
2. Surat muatan (untuk pengangkutan barang).
Surat muatan ini disebut
menurut jenis pengangkutannya, yaitu:
1. Pengangkutan darat:
a. Vrachtbrief (surat muatan): diatur dalam Pasal 43 ayat (92) UU No. 14
Tahun 1992.
b. Spoorvrachtbrief (surat muatan kereta api): diatur dalam Pasal 23 ayat (2)
UU No. 13 Tahun1992.
Dalam
Pasal 90 KUHD dinyatakan bahwa surat muatan merupakan perjanjian antara
pengirim atau ekspeditur dengan pengangkut, ditandatangani oleh pengirim atau
ekspeditur. Jadi surat muatan ini berfungsi sebagai bukti adanya perjanjian
pengangkutan, jika pengangkut menandatangani surat muatan tersebut.
2. Pengangkutan laut: cognossement
/bill of loading (surat muatan laut): diatur dalam Pasal 506 KUHD dan
Pasal 85 UU No. 21 Tahun 1992.
Menurut
Pasal 506 KUHD, konosemen adalah
surat bertanggal dalam mana pengangkut menerangkat bahwa ia telah menerima
barang tertentu untuk diangkut ke suatu tempat tujuan yang ditunjuk dan di
sana menyerahkannya kepada orang yang ditunjuk (penerima) disertai dengan
janji-janji apa penyerahan akan terjadi.
Konosemen
mempunyai arti penting dalam penyelenggaraan pengangkutan laut sebab
konosemen berfungsi sebagai:
a. Pelindung barang yangt diangkut dengan kapal, konosemen
merupakan persetujuan yang mengikat pengangkut, pengirim, dan penerima.
Sehingga barang dilindungi dari perbuatan sewenang-wenang dan tidak
bertanggung jawab dari pengangkut.
b. Surat bukti tanda terima barang di atas kapal; dengan
adanya konosemen maka pengangkut/agen/nakhoda mengakui bahwa ia telah menerima
barang dari pengirim untuk diangkut dengan kapal yang bersangkutan.
c. Tanda bukti milik atas barang; dengan memiliki konosemen
berarti memiliki barang yang tersebut didalamnya. Setiap pemegang konesemen
berhak menuntut penyerahan barang tersebut didalamnya di kapal mana barang
itu berada (Pasal 510 KUHD).
d. Kuitansi pembayaran biaya pengangkutan, dalam koonosemen
dinyatakan bahwa biaya pengangkutan dibayar lebih dahulu di pelabuhan
pemuatan oleh pengirim, atau dibayar kemudian di pelabuhan tujuan oleh penerima.
e. Kontrak atau persyaratan pengangkutan, konosemen adalah
bukti perjanjian pengangkutan yang memuat syarat-syarat pengangkutan.
3. Pengangkutan udara: luchtvracthbrief
(surat muatan udara), diatur dalam Pasal 41 UU No. 15 Tahun 1992 dan Pasal 14
Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) Stb. 1939 No. 100.
Menurut
Pasal 14 OPU, surat muatan udara berfungsi sebagai:
a. Surat bukti persetujuan pengangkutan, ini berarti bila
pengangkutan menerima barang untuk diangkut tanpa dibuat surat muatan udara, pengangkut tidak berhak
menggunakan ketentuan OPU yang membatasi tanggung jawabnya.
b. Surat bukuti penerimaan barang, setiap barang yang
diterima untuk diangkut pengangkut selalu disertai surat muatan udara yang
segera di tandatanganinya dan dikembalikan pada pengirim.
c. Syarat-syarat pengangkutan, dalam setiap surat muatan
udara dimuat syarat-syarat pengangkutan, dengan mana kedua belah pihak
terikat.
Pasal 1320 KUHPerdata di
sebutkan tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian bahwa dalam suatu
perjanjian harus berdasarkan azas; Kesepakatan, suatu hal tertentu, cakap,
dan halal. Maksud dari pada azas Kesepakatan adalah bahwa suatu perjanjian
baik yang dibuat oleh dua pihak atau lebih harus memiliki kesepakatan yang di
tuangkan dalam suatu perjanjian. Apabila dalam suatu perjanjian tidak
mencantumkan hal yang di sepakati maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
Tentang hal tertentu yang juga menjadi syarat sahnya suatu perjanjian adalah bahwa
setiap perjanjian harus mencantumkan tentang hal yang di perjanjikan. Hal
yang diperjanjikan harus dibuat secara rinci dan dapat di pahami oleh para
pihak- pihak yang membuatnya. Serta tidak memiliki pegertian ganda. Yang di
maksud dengan pengertian ganda adalah bahwa suatu kalimat dalam perjanjian
tersebut dapat di tafsirkan berbeda oleh para pihak menyimpang atau keluar
dari tujuan perjanjian tersebut. Cakap maksudnya adalah para pihak yang
terlibat membuat perjanjian harus cakap menurut hukum untuk bertiundak atau
membuat perjanjian artinya yang bersangkutan tidak dalam pengampuan, sehat
jasmani dan rohani, serta mampu berbuat sesuatu. Sedangkan tentang suatu hal
yang halal adalah hal yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan
hukum yang berlaku.
5.4
BERAKHIRNYA PENGANGKUTAN
Untuk mengetahui kapan dan dimana perjanjian
pengangkutan berakhir, perlu dibedakan dua keadaan, yaitu:
1. Dalam hal tidak terjadi peristiwa yang menimbukan
kerugian, maka perbuatan yang dijadikan ukuran ialah saat penyerahan dan
pembayaran biaaya pengangkutan di tempat tujuan yang disepakati atau setelah
penumpang turun.
2. Dalam hal terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian,
maka perjanjian pengangkutan berakhir setelah penyelesaian kewajiban
pembayaran ganti rugi. Penyelesain dapat dilakukan melalui Pengadilan.
Berakhirnya
Pengangkutan Dalam Hal Tidak Terjadi Kerugian
a. Pengangkutan darat berakhir dengan penyerahan barang ditempat tujuan (untuk
pengangkutan darat dengan truk, tempat tujuan berupa terminal, atau gudang
atu lokasi proyek, atau tempat kediaman penerima, sedang pengangkutan dengan
kereta api, tempat tujuan di stasiun atau gudang).
b. Pengangkutan laut berakhir di pelabuhan tujuan atau pelabuhan terakhir,
yaitu dermaga, atau gudang penerima, atau gudang pengangkut.
c.
Pengangkutan udara
Perjanjian
pengangkutan udara berakhir:
1) Sejak muatan barang di terima oleh penerima digudang
bandara.
2) Sejak muatan barang di terima oleh penerima di tempat
tinggalnya, jika muatan barang di perjanjikan untuk diantar.
3) Sejak bagasi di terima oleh penumpang yang bersangkutan di
gedung bandara, jika mengenai pengangkutan bagasi.
Berakhirnya
Pengangkutan Dalam Hal Terjadi Kerugian
Apabila terjadi
peristiwa yang menimbulkan kerugian, perjanjian pengangkutan (baik pada
pengangkutan darat, laut, atau udara) berakhir sejak muatan barang serta
ganti kerugiannya diserahkan/dibayarkan oleh pengangkut ditempat yang
ditentukan.
Pengangkutan
penumpang
Untuk pengangkutan
penumpang, yang dijadikan sebagai ukuran berakhirnya perjanjian
pengangkutan ialah saat penumpang turun dari alat pengangkutan ditempat
tujuan yang disepakati (untuk pengangkutan darat, di halte atau terminal atau
stasiun; pengangkutan laut di dermaga plabuhan; dan untuk pengngakutan udara,
sejak penumpang menjejakan kaki di bandara tujuan).
Sedangkan penyelesaian ganti kerugian pada kecelakaan
penumpang bukan menjadi ukuran berakhirnya perjanjian pengangkutan, karena
hal itu telah ditentukan dan diatur oleh perusahaan asuransi kerugian
jasaraharja melalui program asuransi kecelakaan penumpang.
|
RANGKUMAN MATERI:
Pengangkutan atau juga dikenal dengan istilah
transportasi adalah salah atu penunjang perniagaan (bisnis) yang memiliki
peranan yang sangat penting. Hampir setiap bidang Kegiatan usaha membutuhkan
sarana transportasi. Secara umum transportasi terbagi menjadi tiga bagian yaitu
transportasi darat, transportasi laut dan transportasi udara. Masing-masing
jenis transportasi tersebut memiliki perbedaan perlakuan oleh karenanya
ketiganya bersandar pada dasar hukum yang berbeda pula Dalam kegiatan
pengangkutan tidak dapat terhindar dari adanya resiko oleh karenanya diatur hal
tentang tanggung jawab pengangkutan. Secara prinsip Ada tiga tanggung jawab
dalam kegiatan pengangkutan yaitu; tanggung jawab berdasarkan praduga atau presumption of liability, dimana
pengangkut selalu dianggap
bertanggung jawab terhadap barang bawaannya dan tanggung jawab terbatas atau limitation of liability yang menegaskan
tentang tanggung jawab pengangkut hanya dalam batas tertentu. Oleh karena dalam
kegiatan pengangkutan menimbulkan tanggung jawab atas kegiatan tersebut
diperlukan pembuktian yang menunjukan telah terjadinya pengangkuitan. Maka
prosedur dokumentasi diperlukan sebagai catatan (record) atas terjadinya kegiatan tersebut. Pada pengangkutan darat
dokumen yang diterbitkan adalah tiket penumpang dan surat muatan. Pasal 90 KUHD
mengisyaratkan bahwa surat muatan adalah perjanjian antara pengirim barang dan
pengangkut artinya surat muatan adalah bukti adanya perjanjian pengangkutan.
Konosemen (cognosement) merupakan dokumen pada kegiatan pengangkutan laut.
Pasal 506 KUHD mengisyaratkan bahwa konosemen adalah surat bertanggal yang
menyatakan bahwa pengangkut telah menerima sejumlah barang tertentu yang akan
diangkut pada suatu tempat yang ditunjuk.
Pada pengangkutan udara terdapat dokumen surat muatan udara atau
Luchtvrachtbrief seperti diatur dalam 41 Undang-undang Nomor 15 tahun 1992 dan
pasal 44 OPU-1939.Kesepakatan atas kegiatan engangkutan berakhir setelah hak
dan kewajiban dua belah pihak telah terpenuhi. Setibanya barang yang diangkut
ketempat tujuan atau ke Penerima dalam keadaan baik adalah merupakan salah satu
syarat berakhirnya kesepakatan pengangkutan. Bila kemudian terdapat
permasalahan yang merugikan engirim maka harus di kembalikan pada perjanjian
yang disepakati .
DAFTAR PUSTAKA
Hartono, Siti Sumarti, KUHD (Kitab Undang-undang Hukum Dagang), dan
PK (Peraturan Kepailitan),Seksi Hukum Dagang UGM, Yogyakarta, 1983.
Kansil, CST, Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Aksara Baru,
Jakarta, 1985.
Purwosutjipto, HMN, Pengertian Pokok Hukuim Dagang Indonesia 1,
Pengetahun Dasar Hukum Dagang, Djambatan, Jakarta, 1991.
Soegiatna Tjakranegara, Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang,
Rineka, Jakarta, 1995.
Wijaya, IG Ray, Berbagai
Peraturan dan Pelaksanaan Undang-undang di bidang usaha (hukum perusahaan),
Kesaint Blanc, 2000.
Widjaya, Gunawan, dan Ahmad Yani,
Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar