Minggu, 22 Mei 2016

Hukum Pengangkutan

Deskripsi Materi
Hukum Pengangkutan

PENGANTAR:
            Pengangkutan atau transportasi adalah salah satu bidang kegiatan ekonomi yang penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini di sebabkan karena Indonesia secara geografis adalah Negara kesatuan yang sangat luas, terdiri dari ribuan pulau serta sebagian besar wilayahnya  merupakan lautan sehingga kegiatan pengangkutan harus dilakukan melalui tiga jalur yaitu melalui jalur darat, melalui jalur laut, dan jalur udara. Selain itu pengangkutan penting di sebabkan adanya kebutuhan yang dapat menunjang pembangunan di berbagai bidang, contohnya perhubungan perdagangan. Untuk memperlancar arus barang dan jasa, priwisata, dan bidang usaha lainnya.
            Dalam bidang usaha, pengangkutan menjadi suatu sarana akomodasi yang turut serta menggerakan roda kegiatan usaha. Sehingga keberadaannya sama penting dengan kualitas dari suatu produk yang di buat. Sebagai contoh, Keterlambatan pesanan bagi pelanggan dapat mencederai kepercayaan bahkan merugikan pelaku usaha. Suatu pesanan yang datang terlambat bisa jadi di kenakan denda, ditolak, bahkan dapat di ajukan gugatan manakala keterlambatannya telah menimbulkan kerugian bagi si pemesan.Belum lagi jika ternyata setelah dilakukan pengangkutan mengakibatkan pesanan rusak dan lain sebagainya.
            Dalam kegiatan usaha, suatu aktifitas pengangkutan ( antar muat/ bongkar muat) harus dilakukan secara professional dan terbuka. Sehingga kegiatan pengangkutan dapat di pertanggung jawabkan oleh masing masing pihak yaitu pemilik barang dan pengangkut barang. Kegiatan antar muat hendaknya di lakukan berdasarkan suatu kesepakatan para pihak yang di tuangkan dalam suatu perjanjian yang berlandaskan hukum. Perjanjian tersebut hendaknya bersifat transparan sehingga masing- masing pihak memahami hak dan kewajibannya masing-masing.


DESKRIPSI MATERI: HUKUM PENGANGKUTAN

5.1 PENGERTIAN PENGANGKUTAN
            Pengangkutan adalah proses kegiatan memuat barang dan atau penumpang kedalam alat pengangkutan, membawa barang atau penumpang ketempat tujuan, dan menurunkan barang  atau penumpang di tempat tujuan yang di tentukan. Dari definisi tersebut dapat diketahui beberapa factor pengangkutan sebagai berikut:
1.      Pelaku, yaitu orang yang melakukan pengangkutan. Ada yang berupa badan usaha, seperti perusahaan pengangkutan, dan ada pula yang bukan badan usaha.
2.      Alat pengangkutan, yaitu alat yang digunakan sebagai saran untuk menyelenggarakan pengangkutan. Alat tersebut digerakan dengan dengan secara mekanik serta memenuhi syrat yang ditentukan oleh Undang-undang.
3.      Barang atau penumpang, yaitu muatan yang diangkut. Barang muatan yang diangkut adalah barang perdagangan yang sah menurut Undang-undang.
4.      Perbuatan, yaitu kegiatan mengangkut barang atau penumpang sejak pemuatan sampai dengan penurunan ditempat tujuan yang telah ditentukan.
5.      Fungsi pengangkutan yaitu meningkatkan kegunaan dan nilai barang atau penumpang. Barang yang tiba tepat waktu tentu dan terjaga kualitasnya akan memiliki nilai ekonomi lebih baik dan penumpang tiba tepat waktu dengan selamat akan meningkatkan produktifitas dan efektifitas kerja ( tenaga kerja).
6.      Tujuan Pengangkutan, yaitu sampai atau tiba ditempat tujuan yang ditentukan dengan selamat dan dilunasinya biaya pengangkutan.
Dalam penyelenggaraan pengangkutan terdapat beberapa tahapan kegiatan-kegiatan yang terkait, yaitu:
1.      Tahap persiapan pengangkutan, meliputi penyediaan alat pengangkutan dan penyerahan barang atau naiknya penumpang yang akan diangkut. Pada tahapan ini tanggung jawab terhadap barang atau orang yang akan di angkut biasanya belum menjadi tanggung jawab pengangkut. Keamanan barang atau orang yang akan diangkut menjadi tanggung jawab pengelola tempat persiapan pengangkutan seperti Otoritas Pelabuhan, Bandara, Terminal dan sebagainya. Setelah barang atau orang telah berada di atas sarana pengngkutan maka pengangkut bertanggung jawab terhadap muatannya.
2.      Tahap penyelenggaraan pengangkutan, meliputi kegiatan pemindahan barang atau penumpang dengan alat pengangkutan dari tempat berangkat sampai tujuan yang disepakati. Keselamatan barang maupun penumpang mutlak menjadi tanggung jawab pengangkut.
3.      Tahap penyerahan barang pada penerima atau turunnya penumpang serta pembayaran biaya pengangkutan. Barang atau penumpang yang tiba/ diserahkan pada tempat tujuan harus sesuai dan dalam keadaan baik.
4.      Tahap penyelesaian persoalan yang timbul atau terjadi  selama pengangkutan atau akibat pengangkutan.  Apa bila dalam penyerahan terdapat hal yang  merugikan penerima maka harus dilakukan upaya penyelesaian terlebih dahulu sehingga kegiatan pengangkutan tidak secara otomatis berakhir.
Dalam prakteknya, kegiatan pengangkutan ini dilakukan melalui perjanjian antara pihak pengirim barang atau penumpang dengan pelaku pengangkutan. Bentuk perjanjian dapat berupa surat perjanjian atau tiket penumpang. Biasanya perjanjian berbentuk baku dalam format tertentu dan telah disiapkan oleh salah satu pihak.

5,2 ASAS-ASAS PERJANJIAN DAN DASAR HUKUM KEGIATAN PENGANGKUTAN

ASAS-ASAS PERJANJIAN PENGANGKUTAN
Secara umum perjanjian diatur dalam dalam pasal 1313 KUHPdt yang berbunyi ” Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan satu pihak atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Maka perjanjian adalah suatu perbuatan antara  dua orang atau lebih yang secara sadar mengikatkan diri dalam suatu bentuk perjanjian yang didasari kesepakatan guna tujuan tertentu.
Perjanjian pengangkutan adalah perjanjian timbal balik dengan mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau orang, dari suatu tempat ketempat tujuan tertentu dengan selamat. Sedangkan pengirim atau penumpang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan.
            Adapun subyek hukum dalam perjanjian  pengangkutan terdiri dari:
1.      Pihak-pihak yang secara langsung terikat dalam perjanjian, yaitu pengangkut, pengirim barang atau penumpang.
2.      Pihak-pihak yang secara tidak langsung terikat dalam perjanjian yaitu ekspeditur, biro perjalanan, dan penerima barang.
Secara umum bentuk perjanjian pengangkutan tetap bersandar pada Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur tentang syarat sahnya suatu perjanjiian. Pada umumnya dalam perjanjian pengangkutan disepakati hal-hal sebagai berikut:
1.      Obyek perjanjian pengangkutan, yaitu apa yang diangkut (muatan barang atau penumpang), biaya pengangkutan yang timbul selama dan sebagai akibat pengangkutan; alat angkutan yang digunakan; dalam hal ini hal-hal tersebut harus termuat secara jelas dan terperinci untuk menghindari bila terjadi perselisihan dikemudian hari. seperti jenis alat angkut harus di tuangkan apa jenis alat angkutnya, kemampuan angkut/ muatnya dan sebagainya .Alat angkut yang tertuang dalam perjanjian harus betul-betul sesuai yang di gunakan dalam pengangkutan...
2.      Tujuan pengangkutan, sampai atau tibanya barang atau penumpang yang diangkut pada tempat tujuan dengan selamat: lunasnya pembayaran biaya pengangkutan; kesesuan barang yang diantar, kondisi barang, serta waktu tiba di tujuan harus termuat dalam perjanjian demikian pula dengan tata cara elunasan pembayaran. .
3.      Syarat-syarat perjanjian, berkaitan dengan bagaimana tujuan bisa dicapai melalui perjanjian tersebut.Hendaknya melakukan perjanjian dilandasi dengan landasan hukum tentang syarat-syarat membuat perjanjian yang baku sehingga bentuk perjanjian memiliki  alur yang benar dan dapat di peranggung jawabkan.
Dalam perjanjian pengangkutan berlaku asas-asas sebagai berikut:
1.      Asas Konsensualisme,   

Sebagaimana Perjanjian pada umumnya, perjanjian pengangkutan bersifat kosensualisme dalam arti tidak ditentukan bentuk tertentu ( perjanjian pegangkutan dapat di buat secara lisan dan tertulis).
Asas konsensualisme mengandung arti bahwa tiap-tiap perjanjian yang dibuat tyelah terjadi sejak adanya kesepakatan (consensus) dari para pihak yaitu pihakpengirim dan pengangkut.

2.      Asas Koordinasi
Asas ini mensyaratkan adanya kedudukan yang sejajar antara para pihak dalam perjanjian pengangkutan. Meskipun perjanjian pengangkutan merupakan “pelayanan Jasa”, namun tidak berlaku hubungsn subordinasi sebagaimana dalam perjanjian perburuhan. Pihak pengangkut bukan buruh dari pengirim barang atau penumpang.

3.      Asas Perjanjian Campuran
Perjanjian pengangkutan merupakan bentuk campuran antara:
a.       Perjanjian pemberian kuasa dari pengirim barang pada pengangkut.
b.      Perjanjian penyimpanan barang dari pengirim barang pada pengangkut.
c.       Perjanjian melakukan pekerjaan pengangkutan barang yang diberikan pengirim kepada pengangkut..
4.      Asas tidak ada hak retensi ( hak menahan barang milik klien apa bila biaya belum terselesaikan).
Hak retensi adalah hak untuk menahan sesuaatu barang milik klien yang dalam hal ini adalah Pengirim apa bila kewajibannya belum dipenuhi. Dalam perjanjian pengangkutan tidak ada hak retensi karena karena penggunaan hak retensi itu bertentangan dengan fungsi dan tujuan perjanjian pengangkutan yaitu:
Pengangkutan berfungsi untuk meningkatkan kegunaan barang (nilai barang atau penumpang) dan bertujuan untuk mengangkut dan menyerahkan barang pada penerima.
Oleh karena tidak adanya hak retensi dalam dalam perjanjian pengangkutan maka pengangkut maupun pengirim harus memperhitungkan resiko yang akan timbul di kemudian hari agar para pihak mendapatkan haknya.

DASAR HUKUM KEGIATAN PENGANGKUTAN
Ketentuan Perundang-undangan yang mengatur perjanjian pengangkutan terdiri dari dua macam yaitu:
1.      Peraturan yang bersifat keperdataan ( bersangkutan dengan hak dan kewajiban para pihak). Bersifat keperdataan karena kegiatan pengangkutan sejatinya adalah upaya antar pribadi-pribadi  yang melakukan kesepakatan untuk terjadinya kegiatan tersebut.
2.      Bersifat administratif ( yang bersangkutan dengan kepentingan umum). Dalam praktiknya pengangkutan sering bersentuhan dengan kepentingan umum sehingga melibatkan pengawasan dari pemerintah.
Pengangkutan yang diselenggarakan di Indonesia meliputi tiga jenis pengangkutan, sebagai berikut:
1.      PENGANGKUTAN DARAT
Pengaturan tentang pengangkutan darat terdapat dalam:
a.       KUHD Buku I, Bab V, bagian 2 dan 3 dari pasal 90 s/d 98  tentang pengangkutan darat secara umm.
b.      Undang-undang yang merupakan ketentuan bersifat Lex spcialis:
1)     Undang-undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkereta-apian, menggantikan ordonansi S 1927 No.262 tentang pengangkutan dengan kereta api. ( Bepalingen betreffende het vervoer over spoorwegen)
2)     Undang-undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian menggantikan undang-undang Nomor 13x tahun 1992
3)     Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang  lalu lintas Angkutan jalan , juncto Perpu No.1 Tahun 1992 tentang penangguhan mulai berlakunya UU No. 14 Tahun 1992, dan UU No. 22 Tahun 1992 tentang penetapan Perpu No.1 Tahun 1992 menjadi Undang-undang. ( UU No.14 Tahun 1992 ini menggantikan UU No. 3 Tahun 1965 Tentang lalu lintas Jalan Raya).
4)     Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan, merupakan kelanjutan dari undang-undang nomor 14 tahun1992 yang merupakan pengembaqngan signifikan yang dapat dilihat pada jumlah vclausul yang di atur yaitu yang semula terdiri dari 16 bab dan 74 pasal dalam undang –undang ini menjadi 22 bab dan 326 pasal. Dalam undang-undang sebelumnya menyebutkan bahwa untuk mencapai tujuan pembangunan nasional sebagai pengamalan ancasila, transportasi memiliki posisi yang penting dan strategis dalam pembangunan bangsa yang berwawasan lingkungan dan hal ini harus tercermin pada kebutuhan mobilitas seluruh sektor dan wilayah. Trasportasi meruakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam memperlancar roda perekonomian, memperkukuh persatuan dan kesatuan serta   mempengaruhi semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbeda dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009, Bahwa Lalu lintas dan pengangkutan jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum.

2.      PENGANGKUTAN LAUT
Pengaturan tentang pengangkutan laut terdapat dalam :

a.       KUHD buku II, Bab V tentang chapter kapal; Bab VA tentang pengangkutan barang dan Bab VB tentang pengangkutan penumpang.
b.      UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, menggantikan Ordonansi antara lain : Scheepen OrdonantieS 1935 No. 55 tentang Ordonansi Kapal Laut.
Pengangkutan laut lazimnya dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
a.       Free On Board (FOB), yaitu pengirim melakukan penyerahan barang melewati pagar kapal pada pelabuhan pengapalan (muat). Hal ini berarti penerima (pembeli) bertanggung jawab penuh atas seluruh biaya dan resiko atas kehilangan atau kerusakan barang dari mulai dari titik tersebut. Syarat FOB menuntut pengirim untuk mengurus formalitas ekspor. Syarat tersebut hanya berlaku bagi angkutan laut dan sungai saja.
b.      Free Along Ship ( FAS), yaitu penjual melakukan penyerahan barang bila barang diletakan disamping kapal pelabuhjan pengapalan yang di sebut. Hal ini berarti bahwa penerima (pembeli) wajib memikul semua biaya dan resiko kerusakan maupun kehilangan atas barabg-barabg sejak saat itu. Syarat Free Along Ship menuntut pengirim (penjual) mengurus formalitas ekspor. Maka harus ditegaskan dengan cara menambahkan kata yang tegas dalam kontrak jual beli.
c.       Cost and Insurance (CIS), yaitu berarti bahwa penjual melakukan penyerahan barang bila barang tersebut melewati pagar kapal di pelabuhan pengapalan. Pengirim wajib membayar semua biaya dan ongkos untuk mengangkut barang-barang itu sampai pada tjuan yang  di tunjuk, namun resiko atas kerusakan dan kehilangan barang-barang termasuk setiap biaya tambahan sehubungan dengan sehubungan dengan peristiwa yang terjadi pasca serah terimas dengan penerima (pembeli). Namun dalam syarat cost and insurance penjual wajib pula mengasurasikan dengan syarat minimum. Sekiranya menginginkan perlindungan yang lebih besar, maka pembeli (penerima) perlu mengadakan persetujuan dengan penjual secra tegas atau pembeli sendiri yang mengurus asuransi tambahan.

3.      PENGANGKUTAN UDARA
Peraturan tentang Pengangkutan udara tidak terdapat  dalam KUHD, tetapi diatur secara khusus  diluar KUHD yaitu:
a.       Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan, menggantikan UU No. 83 Tahun 1958 Tentang Penerbangan. Undang- undang ini bersifat publik Administratif (bukan keperdataan) karena menyangkut norma-norma pengawasan pemerintah.
b.      Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, menggantikan undang-undang nomor 15 tahiun 1992.
c.       Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU), Stb. 1939 No.100 ( Luchtvervoer Ordonatie). Sepanjang tidak bertentangan dengan UU No. 15 Tahun 1992 OPU ini masih berlaku.
Ordonansi Pengangkutan Udara di Undangkan setelah Belanda meratifikasi konvensi Warsawa ada tahun 1929, yaitu Konvensi untuk Unifikasi dari ketentuan-ketentuan sehubungan dengan angkutan Udara Internasional. Pada intinya OPU ini mengatur tentang dokumen pengangkutan dan tanggung jawab pengangkut Dalam hukum Bisnis, setiap pelaku usaha tidak di benarkan melakukan kegiatan-kegiatan usaha yang menimbulkan kerugian bagi pelaku usaha lainnya. baik kapasitasnya sebagai Pedagang atau penjual maupun sebagai pembeli atau pengguna jasa. Oleh karenanya dibutuhkan suatu regulasi yang mengatur tentang kegiatan tersebut agar supaya dapat di ketahui batasan-batasan yang mengatur tentang hak dan kewajiban para pelaku usaha. Diantaranya adalah aturan hukum tentang jual beli, perlindungan konsumen, kewajiban produsen dll.
Pada tanggal 17 Desember 2008 rapat paripurna DPR-RI telah mensahkan yang ditanda tangani pada tanggal 12 Januari 2009, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang penerbangan yang meliputi kebijakan baru transportasi udara yang berkenaan dengan modal perusahaan penerbangan ( airline capital), komposisi saham (shares com;potition), kepemilikan pesawat udara (aircraft ownesship), Jaminan bank (bank guarantee), sumber daya manusia (resource person), kebijakan tariff penumpang (passenger tariff policy) pesawat udara baik yang ekonomi maupun non-ekonomi, tariff kebandar-udaraan, danpenegakan hukum. Undang-undang tersebut sangat mendukung terhadap pertumbuhan transportasi udara karena sebagai dasar hukum transportasi udara yang komprehensif. Undang-undang Nomor 1 2009 tentang penerbanngan merupakan pula tindak lanjut dari banyak temuan Organisasai Penerbangan Siil Internasional (ICAO) beberapa waktu yang lalu. Secara filosofis undang-undang ini memisahkan regulator dengan Operator sehingga memiliki tugas dan tanggung jawab yang jelas tidak tumpang tindih dan transparan. Secara historis di bidang transportasi udara, pemikiran tentang pemisahan peran regulator dengan operator telah timbul pada tahun 1991, sat Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang penerbangan disiapkan. Secara umum undang-undang ini mengalami perubahan signifikan dengan Undang-undang sebelumnya.



5.3 TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT DAN DOKUMEN-DOKUMEN PENGANGKUTAN

TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT
            Perjanjian pengangkutan bersifat timbal balik yang artinya masing-masing pihak mengikatkan diri dan memiliki hak dan tanggung jawab. Pada dasarnya kewajiban dan hak para pihak dalam pengangkutan dapat diketahui pada penyelenggaraan pengangkutan atau berdasarkan dokumen pengangkutan. Kewajiban pengangkut adalah menyelenggarakan pengangkutan dari suatu tempat ketempat lain yang telah ditentukan dengan selamat, sedangkan kewajiban pengirim atau penumpang adalah membayar biaya pengangkutan.
            Dalam pengertian “ menyelenggarakan pengangkutan “ dapat disimpulkan bahwa pengangkutan dilakukan sendiri oleh pengangkut atau dilakukan oleh orang lain atas perintahnya. Istilah : dengan selamat” mengandung arti bahwa apa bila pengangkutan berjalan “ tidak selamat “hal tersebut menjadi tanggung jawab pengangkut. Keadaan Tidak selamat mempunyai dua arti, yaitu:
1.      Pada pengangkutan barang,, barangnya tidak ada. Lenyap atau musnah atau barangnya ada akan tetapi rusak sebagian atau seluruhnya disebabkan oleh berbagai kemungkinan peritiwa.
2.      Pada pengangkutan penumpang, penumpang meninggal dunia atau luka/ cacat sementara atau tetap, atau karena suatu peristiwa atau kejadian.
Dalam hal pengangkut tidak menyelenggarakan pengangkutan sebagaimana mestinya ia harus “bertanggungjawab”, artinya harus memikul semua akibat yang timbul dari perbuatan penyelenggaraan pengangkutan. Karena kesengajaan atau kelalaian pengangkut. Maka konsep tanggung jawab ( liability) itu timbul karena pengangkut dalam memenuhi kewajiban tidak sebagaimana mestinya.Tidak jujur atau tidak baik, atau sama sekali tidak memenuhi kewajiban tersebut.
      Tetapi dalam perjanjian pengangkutan ada beberapa hal yang bukan menjadi tanggung jawab pengangkut. Artinya apabila timbul kerugian pengangkut dapat terbebas dari kewajiban membayar ganti kerugian. Beberapa hal tersebut adalah:
1.      Dikarenakan adanya keadaan yang memaksa (overmacht).
2.      Cacat pada barang atau penumpang sendiri.
3.      Kesalahan atau kelalaian pengirim atau penumpang sendiri.
Terdapat beberapa prinsip yang dikenal dalam pengangkutan:
1.      Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan ( fault liability)
Pengangkut yang melakukan kesalahan dalam penyelenggaraan pengangkutan harus bertanggung jawab membayar ganti kerugian (mengganti semua kerugian yang timbul karena kesalahannya), dalam hal ini beban pembuktian ada pada pihak yang menderita kerugian. Beban pembuktiannya (onus of proof) terdapat pada pihak yang dirugikan (pengirim) bukan pengangkut. Prinsip ini berlaku umum seperti yang diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum.

2.      Prinsip tanggung jawab berdasar praduga ( presumption of liability)
Pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya. Korban tidak harus membuktikan adanya unsure kesalahan apapun pada pihak pengangkut untuk menuntut pembayaran santunan atas kerugian yang di deritanya. Korban cukup menunjukan kerugian yang diderita selama pengangkutan. Beban pembuktian tedapat pada pengangkut bukan pada pihak yang dirugikan (pengirim). Pihak yang dirugikan cukup menunjukan tentang adanya kerugian yang diderita dalam pengangkutan yang diselenggarakan oleh pengangkut (loss or demage during transit).
Dalam hal pengangkut dapat membuktikan bahwa “ia tidak bersalah” maka ia dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian, yaitu apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa :
a.       Kerugian yang terjadi bukan di akibatkan kesalahan pengangkut.
b.      Pengangkut telah mengambil tindakan yang diperlukan untuk menghindari kerugian tersebut.
c.       Peristiwa yang menimbulkan kerugian tersebut tidak mungkin untuk di hindari.
3.      Prinsip tanggung jawab mutlak (absolute liability)
Pengangkut harus bertanggung jawab membayar ganti kerugian atas setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang di selenggarakan, tanpa pembuktian ada tidaknya kesalahan pengangkut. (pengangkut tidak dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya dengan alasan apapun).
Dari ketiga jenis prinsip tanggung jawab pengangkut tersebut, pada umumnya dalam pengangkutan di Indonesia baik darat, laut, dan udara di anut prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga ( presumption of liability). Hal tersebut dapat dilihat dari asal-pasal sebagai berikut:
Pasal468 (2) KUHD
“ Si pengangkut di wajibkan mengganti segala kerugian yang disebabkan karena barang tersebut sebagian atau seluruhnya, atau karena terjadi kerusakan tadi disebabkan oleh suatu malapetaka yang selayaknya tidak dapat dicegah maupun dihindarkannya, atau cacat dari pada barang tersebut, atau oleh kesalahan dari si yang mengirimnya”.

Pasal 477 KUHD
“ Si pengangkut adalah bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkankarena terlambat diserahkannya barang yang diangkutnya, kecuali apabila dibuktikannya bahwa keterlambatan itu disebabkan oleh suatu malapetaka yang selayaknya tidak dapat dicegah atau dihindarkannya”.
Pasal 522 (2) KUHD
“ Si pengangkut diwajibkan mengganti kerugian yang disebabkan karena terlambat diserahkannya karena luka, yang didapat oleh sipenumpang oleh pengangkutan itu, kecuali apabila dibuktikannya bahwa luka itu disebabkan oleh suatu kejadian yang selayaknya tidak dapat dicegahmaupun dihindarkannya, ataupun karena salahnya si penumpang sendiri.

Peraturan pemerintah Nomor 20Tahun 2010 tentang angkutan di perairan (pasal 181 (7))
“ Jika terdapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d bukan disebkan oleh kesalahannya, perusahaan pengangkutan perairandapat dibebaskan sebagian atauseluruh tanggung jawabnya”.

Secara khusus prinsip tanggung jawab pengangkut dapat di temukan dalam ketentuan hukum sebagai berikut:
1.      Pengangkutan darat:
Prinsip tanggung jawab pengangkut pada pengangkutan darat diatur antara lain dalam pasal 28, 29, dan 44 UU No. 14 Tahun 1992.
Pasal 28
Pengemudi kendaraan bermotor bertanggung jawab atas kerugian yang diderita pemilik barang atau penumpang atau pihak ketiga karena kelalaian atau kesalahan pengemudi.
Pasal 29
Tanggung jawab sebagaimanan dinyatakan dalam pasal28 tersebut tidak berlaku dalam hal terdapat keadaan memaksa yang tidak dapat di elakan; atau karena perilaku korban sendiri atau karena gerakan orang atau hewan sendiri meskipun telah dilakukan pencegahan.
Pasal 44
Pengusaha angkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita penumpang, pengirim barang, atau pihak ketiga karena kelalaiannya dalam melaksanakan pelayanan angkutan.
Selanjutnya hukum yang mengatur tentang tanggung jawab pengangkutan darat diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang perkerata-apian dan Undnag-undang Nomor 12 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan.

2.      Pengangkutan laut:
Prinsip tanggung jawab pengangkut dalam pengangkutan laut antara lain di atur dalam pasal 26 UU No. 21 Tahun 1992.
Pasal 26
Perusahaan pengangkutan laut bertanggung jawab akibat pengoperasian kapal, berupa kematian atau luka-lukanya penumpang yang ia angkut; musnah, hilang atau rusaknya barang yang di angkut; keterlambatan pengangkutan; atau kerugian pihak ketiga. Dalam hal Pengangkut dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan karena kesalahannya maka ia di bebaskan dari sebagian atau seluruh tanggung jawabnya.
Pengangkutan laut/air selanjutnya diaturdalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran.

3.      Pengangkutan udara:
Prinsip tanggung jawab pengankut udara di atur dalam pasal 43 dan 44 UU No.15 Tahun 1992.
Pasal 43
Perusahaan pengankutan udara yang melakukan kegiatan angkutan udara bertanggung jawab atas mati atau lukanya penumpang; musnah atau hilangnya barang; dan keterlambatan pengangkutan, apabila terbukti bahwa hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut.
Pasal 44
Tiap orang atau badan hokum yang mengoperasikan pesawat udara bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita pihak ketiga, yang di akibatkan pengoperasian pesawat udara atau kecelakaan pesawat udara atau jatuhnya benda-benda lain dari pesawat udara yang di operasikan.

Dalam pengangkutan udara terdapat dua system pertanggung jawaban yaitu:
a.       Pertanggung jawaban pengangkut pada pengangkutan penumpang dan bagasi tercatat (registered baggage) serta pengangkutan barang.
Menutrut OPU 1933, yang di maksud bagasi ( checked baggage) adalah semua kepunyaan atau di bawah kekuasaan seorang penumpang, yang olehnya atau atas namanya, sebelum ia menumpang pesawat udara, diminta untuk di angkut melalui udara.
Terhadap pengangkutan penumpang, bagasi tercatat dan pengangkutan barang berlaku dua system tanggung jawab, yaitu:
1)    Prinsip tangung jawab berdasarkan praduga (presumption of liability)
Atas kerugian yang terjadi, pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab, kecuali pengankut dapat membuktikan bahwa pengangkut tidak bersalah.
2)    Prinsip tanggung jawab terbatas (limitation of liability)
Pengangkut bertanggung jawab terbatas sampai limit tertentu, kecuali ada kesengajaan atau kesalahan berat pada pengangkut, berlaku unlimited liability.
b.      System pertanggung jawaban pengangkut yang berlaku untuk bagasi tangan (hand baggage).
Bagasi Tangan adalah benda-benda kecil untuk penggunaan pribadi yang ada pada atau dibawa oleh penumpang sendiri.
Prinsip tanggung jawab yang berlaku terhadap bagasi tangan ini pengangkut selalu dianggap tidak bertanggung jawab (presumption of non liability), namun apabila terbukti ada kelalaian dari pengangkut maka pengangkut bertanggung jawab secara terbatas (limitation liability).
Selanjutnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 mengatur pula tanggung jawab pengangkutan udara.

DOKUMEN-DOKUMEN PENGANGKUTAN
            Dokumen pengangkutan berfungsi sebagai bukti adanya perjanjian pengangkutan antara pengangkut dan pengirim barang atau penumpang. Pada umumnya dokumen pengangkutan memuat syarat-syarat perjanjian (condition of contract).
Dalam undang-undang diatur dua macam dokumen pengangkutan, yaitu:
1.      Tiket penumpang (untuk pengangkutan penumpang).
2.      Surat muatan (untuk pengangkutan barang).
Surat muatan ini disebut menurut jenis pengangkutannya, yaitu:
1.      Pengangkutan darat:
a.       Vrachtbrief (surat muatan): diatur dalam Pasal 43 ayat (92) UU No. 14 Tahun 1992.
b.      Spoorvrachtbrief (surat muatan kereta api): diatur dalam Pasal 23 ayat (2) UU No. 13 Tahun1992.
Dalam Pasal 90 KUHD dinyatakan bahwa surat muatan merupakan perjanjian antara pengirim atau ekspeditur dengan pengangkut, ditandatangani oleh pengirim atau ekspeditur. Jadi surat muatan ini berfungsi sebagai bukti adanya perjanjian pengangkutan, jika pengangkut menandatangani surat muatan tersebut.
2.      Pengangkutan laut: cognossement /bill of loading (surat muatan laut): diatur dalam Pasal 506 KUHD dan Pasal 85 UU No. 21 Tahun 1992.
Menurut Pasal 506 KUHD, konosemen adalah surat bertanggal dalam mana pengangkut menerangkat bahwa ia telah menerima barang tertentu untuk diangkut ke suatu tempat tujuan yang ditunjuk dan di sana menyerahkannya kepada orang yang ditunjuk (penerima) disertai dengan janji-janji apa penyerahan akan terjadi.

Konosemen mempunyai arti penting dalam penyelenggaraan pengangkutan laut sebab konosemen berfungsi sebagai:
a.       Pelindung barang yangt diangkut dengan kapal, konosemen merupakan persetujuan yang mengikat pengangkut, pengirim, dan penerima. Sehingga barang dilindungi dari perbuatan sewenang-wenang dan tidak bertanggung jawab dari pengangkut.
b.      Surat bukti tanda terima barang di atas kapal; dengan adanya konosemen maka pengangkut/agen/nakhoda mengakui bahwa ia telah menerima barang dari pengirim untuk diangkut dengan kapal yang bersangkutan.
c.       Tanda bukti milik atas barang; dengan memiliki konosemen berarti memiliki barang yang tersebut didalamnya. Setiap pemegang konesemen berhak menuntut penyerahan barang tersebut didalamnya di kapal mana barang itu berada (Pasal 510 KUHD).
d.      Kuitansi pembayaran biaya pengangkutan, dalam koonosemen dinyatakan bahwa biaya pengangkutan dibayar lebih dahulu di pelabuhan pemuatan oleh pengirim, atau dibayar kemudian di pelabuhan tujuan oleh penerima.
e.       Kontrak atau persyaratan pengangkutan, konosemen adalah bukti perjanjian pengangkutan yang memuat syarat-syarat pengangkutan.
3.      Pengangkutan udara: luchtvracthbrief (surat muatan udara), diatur dalam Pasal 41 UU No. 15 Tahun 1992 dan Pasal 14 Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) Stb. 1939 No. 100.
Menurut Pasal 14 OPU, surat muatan udara berfungsi sebagai:
a.       Surat bukti persetujuan pengangkutan, ini berarti bila pengangkutan menerima barang untuk diangkut tanpa dibuat surat  muatan udara, pengangkut tidak berhak menggunakan ketentuan OPU yang membatasi tanggung jawabnya.
b.      Surat bukuti penerimaan barang, setiap barang yang diterima untuk diangkut pengangkut selalu disertai surat muatan udara yang segera di tandatanganinya dan dikembalikan pada pengirim.
c.       Syarat-syarat pengangkutan, dalam setiap surat muatan udara dimuat syarat-syarat pengangkutan, dengan mana kedua belah pihak terikat.
 Pasal 1320 KUHPerdata di sebutkan tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian bahwa dalam suatu perjanjian harus berdasarkan azas; Kesepakatan, suatu hal tertentu, cakap, dan halal. Maksud dari pada azas Kesepakatan adalah bahwa suatu perjanjian baik yang dibuat oleh dua pihak atau lebih harus memiliki kesepakatan yang di tuangkan dalam suatu perjanjian. Apabila dalam suatu perjanjian tidak mencantumkan hal yang di sepakati maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Tentang hal tertentu yang juga menjadi syarat sahnya suatu perjanjian adalah bahwa setiap perjanjian harus mencantumkan tentang hal yang di perjanjikan. Hal yang diperjanjikan harus dibuat secara rinci dan dapat di pahami oleh para pihak- pihak yang membuatnya. Serta tidak memiliki pegertian ganda. Yang di maksud dengan pengertian ganda adalah bahwa suatu kalimat dalam perjanjian tersebut dapat di tafsirkan berbeda oleh para pihak menyimpang atau keluar dari tujuan perjanjian tersebut. Cakap maksudnya adalah para pihak yang terlibat membuat perjanjian harus cakap menurut hukum untuk bertiundak atau membuat perjanjian artinya yang bersangkutan tidak dalam pengampuan, sehat jasmani dan rohani, serta mampu berbuat sesuatu. Sedangkan tentang suatu hal yang halal adalah hal yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berlaku.

5.4 BERAKHIRNYA PENGANGKUTAN
            Untuk mengetahui kapan dan dimana perjanjian pengangkutan berakhir, perlu dibedakan dua keadaan, yaitu:
1.      Dalam hal tidak terjadi peristiwa yang menimbukan kerugian, maka perbuatan yang dijadikan ukuran ialah saat penyerahan dan pembayaran biaaya pengangkutan di tempat tujuan yang disepakati atau setelah penumpang turun.
2.      Dalam hal terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, maka perjanjian pengangkutan berakhir setelah penyelesaian kewajiban pembayaran ganti rugi. Penyelesain dapat dilakukan melalui Pengadilan.
Berakhirnya Pengangkutan Dalam Hal Tidak Terjadi Kerugian
a.       Pengangkutan darat berakhir dengan penyerahan barang ditempat tujuan (untuk pengangkutan darat dengan truk, tempat tujuan berupa terminal, atau gudang atu lokasi proyek, atau tempat kediaman penerima, sedang pengangkutan dengan kereta api, tempat tujuan di stasiun atau gudang).
b.      Pengangkutan laut berakhir di pelabuhan tujuan atau pelabuhan terakhir, yaitu dermaga, atau gudang penerima, atau gudang pengangkut.
c.       Pengangkutan udara
Perjanjian pengangkutan udara berakhir:
1)     Sejak muatan barang di terima oleh penerima digudang bandara.
2)     Sejak muatan barang di terima oleh penerima di tempat tinggalnya, jika muatan barang di perjanjikan untuk diantar.
3)     Sejak bagasi di terima oleh penumpang yang bersangkutan di gedung bandara, jika mengenai pengangkutan bagasi.
Berakhirnya Pengangkutan Dalam Hal Terjadi Kerugian
            Apabila terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, perjanjian pengangkutan (baik pada pengangkutan darat, laut, atau udara) berakhir sejak muatan barang serta ganti kerugiannya diserahkan/dibayarkan oleh pengangkut ditempat yang ditentukan.

Pengangkutan penumpang
            Untuk pengangkutan penumpang, yang dijadikan sebagai ukuran berakhirnya perjanjian pengangkutan ialah saat penumpang turun dari alat pengangkutan ditempat tujuan yang disepakati (untuk pengangkutan darat, di halte atau terminal atau stasiun; pengangkutan laut di dermaga plabuhan; dan untuk pengngakutan udara, sejak penumpang menjejakan kaki di bandara tujuan).
            Sedangkan penyelesaian ganti kerugian pada kecelakaan penumpang bukan menjadi ukuran berakhirnya perjanjian pengangkutan, karena hal itu telah ditentukan dan diatur oleh perusahaan asuransi kerugian jasaraharja melalui program asuransi kecelakaan penumpang.

RANGKUMAN MATERI:
            Pengangkutan atau juga dikenal dengan istilah transportasi adalah salah atu penunjang perniagaan (bisnis) yang memiliki peranan yang sangat penting. Hampir setiap bidang Kegiatan usaha membutuhkan sarana transportasi. Secara umum transportasi terbagi menjadi tiga bagian yaitu transportasi darat, transportasi laut dan transportasi udara. Masing-masing jenis transportasi tersebut memiliki perbedaan perlakuan oleh karenanya ketiganya bersandar pada dasar hukum yang berbeda pula Dalam kegiatan pengangkutan tidak dapat terhindar dari adanya resiko oleh karenanya diatur hal tentang tanggung jawab pengangkutan. Secara prinsip Ada tiga tanggung jawab dalam kegiatan pengangkutan yaitu; tanggung jawab berdasarkan praduga atau presumption of liability, dimana pengangkut selalu dianggap bertanggung jawab terhadap barang bawaannya dan tanggung jawab terbatas atau limitation of liability yang menegaskan tentang tanggung jawab pengangkut hanya dalam batas tertentu. Oleh karena dalam kegiatan pengangkutan menimbulkan tanggung jawab atas kegiatan tersebut diperlukan pembuktian yang menunjukan telah terjadinya pengangkuitan. Maka prosedur dokumentasi diperlukan sebagai catatan (record) atas terjadinya kegiatan tersebut. Pada pengangkutan darat dokumen yang diterbitkan adalah tiket penumpang dan surat muatan. Pasal 90 KUHD mengisyaratkan bahwa surat muatan adalah perjanjian antara pengirim barang dan pengangkut artinya surat muatan adalah bukti adanya perjanjian pengangkutan. Konosemen (cognosement) merupakan dokumen pada kegiatan pengangkutan laut. Pasal 506 KUHD mengisyaratkan bahwa konosemen adalah surat bertanggal yang menyatakan bahwa pengangkut telah menerima sejumlah barang tertentu yang akan diangkut  pada suatu tempat yang ditunjuk. Pada pengangkutan udara terdapat dokumen surat muatan udara atau Luchtvrachtbrief seperti diatur dalam 41 Undang-undang Nomor 15 tahun 1992 dan pasal 44 OPU-1939.Kesepakatan atas kegiatan engangkutan berakhir setelah hak dan kewajiban dua belah pihak telah terpenuhi. Setibanya barang yang diangkut ketempat tujuan atau ke Penerima dalam keadaan baik adalah merupakan salah satu syarat berakhirnya kesepakatan pengangkutan. Bila kemudian terdapat permasalahan yang merugikan engirim maka harus di kembalikan pada perjanjian yang disepakati .







DAFTAR PUSTAKA

Hartono, Siti Sumarti, KUHD (Kitab Undang-undang Hukum Dagang), dan PK (Peraturan Kepailitan),Seksi Hukum Dagang UGM, Yogyakarta, 1983.

Kansil, CST, Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1985.

Purwosutjipto, HMN, Pengertian Pokok Hukuim Dagang Indonesia 1, Pengetahun Dasar Hukum Dagang, Djambatan, Jakarta, 1991.

Soegiatna Tjakranegara, Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang, Rineka, Jakarta, 1995.

Wijaya, IG Ray, Berbagai Peraturan dan Pelaksanaan Undang-undang di bidang usaha (hukum perusahaan), Kesaint Blanc, 2000.

Widjaya, Gunawan, dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar